Yogyakarta, Koran Jogja – Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi hadir sebagai promotor dan penguji dalam sidang doktoral mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga pada Jumat (26/8) lalu.
Dalam disertasi berjudul ‘HERMENEUTIKA PANCASILA: Paradigma Penafsiran Al-Qur’an Konteks Keindonesiaan’, mahasiswa pascasarjana Ahmad Muttaqin menyatakan Pancasila dan agama bukan hal yang berseberangan atau harus dipilih salah satu.
Melalui rilis pada Senin (29/8), Yudian menegaskan perlu dibangun konsensus antara para pihak dalam metodologi penafsiran. Menurutnya, konsensus itu adalah pertemuan pemikiran, bukan penyeragaman.
“Sering kali hal yang sebenarnya sama sama baik dianggap bertentangan karena perbedaan metodologi, tafsir dan sudut pandang, karenanya konsensus yang hanya bisa didapatkan melalui musyawarah dan mufakat merupakan unsur penting dalam upaya menjembatani perbedaan-perbedaan sudut pandang,” kata Yudian dalam tanggapannya.
Terlebih lagi, di era, dimana sekat ruang dan waktu semakin menghilang, dialektika antara pihak dengan berbagai latar belakang makin sering terjadi. Tak jarang pertemuan ide, perbedaan interpretasi dan pemaknaan ini menimbulkan benturan-benturan yang mengakibatkan terjadinya gesekan dalam masyarakat yang lebih jauh dapat menyebabkan pertikaian antar golongan.
Melalui disertasi Muttaqin mengambil dilatarbelakangi problem teoritis penafsiran Al-Qur’an dalam konteks keindonesiaan.
Dengan pendekatan kontekstual yang telah mengalami perkembangan, pendekatan penafsiran yang berakar dari prinsip keindonesiaan belum sepenuhnya dibangun secara paradigmatis.
“Pendekatan kontekstual masih perlu dikembangkan dalam konteks keindonesiaan yang memiliki perbedaan dengan bangsa atau negara lain. Pancasila sebagai dasar dan pedoman berkehidupan, berbangsa dan bernegara di Indonesia tentunya dapat menjadi basis penafsiran,” jelas Muttaqin.
Tak hanya itu, Pancasila tidak hanya sebagai ekstrak nilai kultural dan representasi konteks sosial, tetapi juga dapat diaktifkan menjadi paradigma penafsiran Al-Qur’an.
Ia menyatakan tujuan penelitian dalam disertasinya menjawab tiga rumusan masalah yaitu bagaimana konstruksi paradigma kontekstual Al-Qur’an yang telah ada dan mengapa masih perlu dikembangkan dalam konteks keindonesiaan? Mengapa paradigma penafsiran Al-Qur’an konteks keindonesiaan perlu melibatkan Pancasila? Dan bagaimana konstruksi paradigma penafsiran Al-Qur’an konteks keindonesiaan yang berbasis Pancasila.
“Semua upaya mendialogkan Pancasila sebagai representasi ke-Indonesia-an telah banyak dikaji untuk diintegrasikan dalam studi keislaman. Namun, selama ini upaya tersebut lebih cenderung pada legitimasi sila Pancasila dengan ayat atau mencari kesesuaian nilai keduanya,” katanya.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa Pancasila adalah representasi yang penting dan valid dari sisi ke-Indonesia-an. Karena Pancasila tidak hanya mengakomodir sisi ke-Tuhan-an yang sejalan dengan Al-Qur’an. Tetapi juga sisi berkehidupan dan bertingkah laku.
“Ini membuktikan bahwa Pancasila dan Agama bukan hal yang berseberangan dan harus dipilih salah satu. Pancasila sebagai dasar hingga perbedaan yang terjadi semata mata berguna untuk memperkaya keilmuan dan sudut pandang, bukan untuk dipertajam hingga berujung pada perpecahan,” tutupnya. (Set)