Bantul, Koran Jogja – Sempat dikenal sebagai kawasan pengrajin genteng kripik di area Bantul sisi barat hingga Kulonprogo. Dusun Polosiyo, Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan hanya menyisakan satu keluarga saja yang sebagai pengrajin genteng kripik.
Beralamatkan di RT 03, keluarga Wardi masih terus menjalankan usaha tradisional lebih dari 50 tahun lalu. Pada Rabu (16/12), usaha satu-satunya di dusun ini dijalankan oleh Mbah Mardi putri (50) dibantu anak lelakinya Rohmad (50) beserta Dalinem (44) menantunya.
“Dulu saya menjalankan usaha ini bersama mendiang suami. Sekarang bersama anak bertahan karena ini yang kami bisa. Ini usaha turun temurun dari orang tua kami,” kata Mbah Mardi putri.
Disela-sela menghaluskan permukaan genteng di cetakan, Mbah Wardi bercerita dulu 1990-an perajin di dusun ini masih banyak. Ia mengingat ada 10 orang yang masih berusaha. Kawasan ini dulunya menjadi sentra pembuatan genteng kripik di Bantul barat dan menjadi pesaing dari produk serupa di Imogiri.
Dibuat sepenuhnya dengan tangan, genteng berbahan tanah liat ini memiliki ketebalan satu centimeter sehingga bobotnya lebih ringan dibandingkan genteng cetak atau pres.
“Sudah sejak simbah namanya kripik. Mungkin karena ringanya itu dinamakan kripik,” kata Mbah Wardi.
Disela-sela tugasnya memotong tanah liat menjadi bentuk lembaran, bahan dasar untuk dicetak. Rohmad menegaskan dibandingkan dengan genteng pres yang sekarang banyak digunakan rumah, genteng kripik memiliki banyak kelebihan.
“Salah satunya adalah simpul pengait antar genteng yang rapat sehingga tidak menjadi jalan air hujan masuk. Karena ringan, rangka atapnya bisa menggunakan bambu sehingga tidak membutuhkan banyak biaya,” kata Rohmad.
Saat ini genteng ini lebih banyak digunakan untuk bangunan limasan yang dibangun oleh kalangan menengah ke atas. Berbeda dengan dulu, saat semua rumah masih menggunakan genteng keripik sebagai satu-satunya atap.
Dibutuhkan sekitar dua minggu untuk menyelesaikan pembuatan seribu genteng. Untuk mencetaknya sebenarnya tidak lama karena sehari Rohmad menghasilkan 250 genteng. Proses lama adalah pengeringan dan pembakaran untuk mendapatkan hasil terbaik.
“Per seribu kami menjualnya Rp900 ribu itu harus diambil sendiri. Jika diantar harganya naik menjadi sejuta. Sedangkan genteng wuwungan kami jugal Rp6000 per buah,” katanya.
Rohmad mengaku meski dipesan oleh pembeli banyak daerah, namun pemesanan dari Kulon Progo masih banyak. Menurutnya di sana masih banyak warga yang memiliki rumah tradisional dan banyaknya pembangunan limasan oleh kelas menengah ke atas.(set)