Jumat, 6 Desember 2024
Koran Jogja

Pengalaman Berburu Mbako Ternikmat ke Siluk, Selopamioro Bantul

dok. koran jogja
dok. koran jogja

Bantul, Koran Jogja – Bagi penikmat rokok, resesi perekonomian datang jauh lebih awal. Lebih tepatnya di awal pandemi, minimnya pemasukkan memaksa mereka mencari alternatif produk tembakau non rokok pabrikan.

Mereka tidak menyerah dan berupaya mendapatkan kualitas rasa sama tapi murah harganya. Linting Dhewe (Tingwe) adalah langkah yang akhirnya mereka tempuh.

Saya ke Desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri untuk mengetahui lebih jauh mengenai perkembangan Tembakau Siluk atau di kalangan petani dikenal sebagai varietas Tembakau Kedu Sili.

Tembakau Siluk adalah komoditas pertanian selain pangan yang menjadi andalan Bantul.

Dapatlah saya nomor kontak Hardek. Setelah bertemu dia memperkenalkan nama aslinya Suhardyanto. Dia petani dan distributor produk tembakau petani-petani di Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul.

“Tembakau Siluk semakin disuka karena cita rasanya yang lebih halus dan mantap dibanding produk tembakau lainnya di pasaran Yogyakarta. Karena pandemi lah, tembakau kami lebih dikenal dan harganya merangkak naik,” ucapnya, Sabtu (7/1) akhir pekan kemarin.

Di gubuk depan rumahnya, saya bersama seorang kawan lainya mengobrol panjang tentang tembakau dengan Hardek. Berdagang sejak 2003, Hardek menyatakan pandemi telah meningkatkan kesejahteraan petani tembakau Siluk.

Jika sebelum pandemi harga tembakau Siluk dibanderol di angka Rp40-60 ribu per kilogram. Sejak pandemi kemarin harga tembakau siluk dari kualitas paling rendah sampai tertinggi sudah menembus angka Rp120-200 ribu per kilogram.

Tentunya banyak yang senang dengan kondisi ini. Tetapi yang lebih membahagiakan Hardek, banyak petani muda yang bermunculan menanam tembakau. Ini cahaya harapan ketika petani berkurang karena dimakan usia.

“Tembakau Siluk ditanam setahun sekali di awal dan sepanjang musim panas. Dari 12 pedukuhan, hanya tiga yang menghasilkan produk tembakau terbaik. Dusun Kajor, Srunggo dan Kalidadap,” lanjutnya.

Tembakau yang dihasilkan dari tiga dusun ini selalu berkualitas terbaik atau kualitas A. Hardek meyakini, selain faktor jenis tanahnya. Perawatan dan penggunaan pupuk yang tepat berpengaruh pada kualitas rasa.

Disuguhi teh ‘Nagistel’, saya tiada henti menikmati tembakau kualitas pertama dengan melinting sendiri. Sedotan yang halus, tidak menimbulkan hentakan yang kuat di tenggorokan dan sensasi menenangkan yang timbul tenggelam saya pikir menjadi nilai tertinggi Tembakau Siluk.

“Untuk grade terendah, Tembakau Siluk mendapatkan pasar di Gunungkidul. Konsumen di sana senang pada rasa tembakau yang menghentak sambil ditemani ngopi di malam hari,” katanya menceritakan karakteristik pelangganya.

Kemudian untuk kualitas dua dan satu, konsumen di pegunungan Kulonprogo adalah pasar terbesar. Setiap minggu, hampir 8-12Kg produk tembakau terserap di sana.

Nah bagi kalangan muda perkotaan yang baru beralih ke tingwe, Hardek merekomendasikan produk tembakau yang warnanya lebih cerah dengan kualitas rasa tingkat dua.

“Ya paling harganya per onsnya di antas Rp20-30 ribu,” paparnya.

Hardek berbicara panjang lebar. Soal rasa tembakau, selain tanah, penggunaan pupuk dan sistem perawatan. Ternyata faktor pemotongan tembakau dan cara penyimpanan juga berpengaruh besar sekali.

Di pemotongan, semakin panjang rajangan tembakau terpotong. Maka kualitas rasa tetap akan terjaga. Sedangkan dalam penyimpanan, teorinya sederhana. Tembakau dibungkus dengan tembakau sebelum disimpan.

“Teorinya sederhana kok mas. Jika rasa tembakau yang di tengah sudah dinilai mantap dan enak. Otomatis rasa tembakau di permukaan pasti enak. Kuncinya ada di gulungan tengah,” katanya.

Di tengah-tengah pembicaraan saya membeli dua ons tembakau kualitas pertama seharga Rp40 per ons. Rasanya memang mantap, terlebih tanpa campuran apapun. Terangnya.

Sebelum pulang saya diberi kejutan. Dia memberi sedikit tembakau yang diwadahi bungkus rokok. Warnanya hitam pekat dan tidak enak dilihat.

“Ini sama-sama tembakau siluk. Bedanya ini tidak pernah dilirik pembeli karena warnanya yang buruk. Padahal ini yang terbaik. Ini tembakau hasil panenan dua tahun lalu. Monggo dicoba,” pintanya.

Modyar. Rasa lebih lebih halus. Sensasi menenangkan muncul terus-terusan. Satu lintingan habis diselingi teh panas. Tak sadar tangan kemudian mengambil tembakau hitam untuk dilinting kedua kalinya. Rasa dan sensasinya tidak ada beda.

Saya tanyakan, berapa harga per onsnya dan adakah barangnya?

“Wah saya sekarang tidak punya. Petani-petani belum mau mengeluarkan simpanan tembakau mereka. Ini sisa enam bulan lalu. Jika ada biasanya saya menjualnya Rp70 ribu per ons,” ucapnya. (Set)

Leave a Reply