Yogyakarta, Koran Jogja – Wakil Ketua DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta Huda Tri Yudiana menyatakan kerusuhan saat penolakan UU Cipta Kerja, Kamis (8/10) kemungkinan sudah lama direncanakan. Namun upaya anarki itu tidak laku di Yogyakarta karena tidak sesuai karakter masyarakatnya.
“Kekerasan seperti kemarin meskipun mungkin sudah lama direncanakan oleh aktor intelektual nya ternyata tidak berefek signifikan dengan warga YOGYAKARTA. Bahkan kantor kami yang jadi sasaran saja hari ini sudah aktivitas normal kembali,” kata Huda melalui rilis, Jumat (9/10).
Huda menyayangkan demo yang sebenarnya murni penyampaian pendapat harus berakhir rusuh. Hal ini merugikan warga YOGYAKARTA dan juga perjuangan rekan rekan pekerja yang menyuarakan penolakan UU Ciptakerja secara murni.
“Bahkan saat kekerasan berlangsung, rekan rekan serikat pekerja bertemu saya dan menyayangkan kerusuhan itu. Karena mengaburkan kemurnian tuntutan mereka,” ucapnya.
Jumat pagi ini Huda memastikan segenap anggota DPRD Yogyakarta dan sekretariat sudah beraktivitas normal kembali. Semua agenda kegiatan DPRD tetap berjalan normal, komisi sudah berkegiatan di kantor menerima audiensi, tamu dan aktivitas lain.
Huda mengucapkan terima kasih terima kasih kepada seluruh warga Yogyakarta dan pada rekan rekan TNI-Polri yang telah mengamankan aksi kemarin. Termasuk para sukarelawan dari berbagai komunitas yang bergerak membersihkan DPRD dan Malioboro pasca kerusuhan.
“Kami optimis, upaya mengacaukan Yogyakarta mudah dipatahkan semangat gotong royong warga. Anarkhi tidak akan menang melawan gotong royong warga Yogyakarta,” tegasnya.
Ketua Komisi A DPRD Yogyakarta Eko Suwanto sependapat aksi perusakan fasilitas umum di Malioboro kala aksi tolak omnibus law telah membuat luka bagi warga Yogyakarta.
“Merusak Malioboro sama dengan menodai ikon pariwisata Yogyakarta. Malioboro adalah simbol kebanggaan ekonomi rakyat,” kata Eko.
Ia mendukung Polri segera menangkap dalang dan pelaku perusakan. Pasalnya para perusuh disebut tidak bawa aspirasi tapi hadirkan kerusakan yang merugikan bagi rakyat Yogyakarta.
Di Bantul, aksi massa yang tergabung dalam Aliansi Bantul Bergerak (ABB) melakukan long-march, dari alun-alun Paseban menuju DPRD Bantul guna menyampaikan menyuarakan dua tuntutan pada Jumat pagi.
Dua tuntutan yaitu meminta UU Omnibus Law dicabut kembali sebagai produk UU Cipta Kerja di Indonesia. Sebab, proses pengesahan UU tersebut cacat dan terdapat beberapa indikasi yang tidak memihak pada rakyat. Kedua, kritik terhadap Kebijakan Pemerintah Bantul, yang dinilai gagal memproteksi ekonomi kerakyatan di masa pandemi.
“Kami menolak UU Omnibus Law karena pengesahan UU memiliki indikasi yang tidak memihak kepada rakyat. Indikasi itu berupa perluasan memasukkan tenaga kerja asing, adanya pelemahan dan ancaman perusakan lingkungan. Adanya ruang penghapusan izin lingkungan. Pelemahan otonomi daerah terhadap seleksi kelayakan usaha,” kata Kordinator Umum Aksi ABB, Ahmad Luthfi Aziz.
ABB merupakan gabungan dua elemen mahasiswa yaitu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) cabang Bantul. Aksi ini diikuti 50 – 70 orang dan berlangsung ketat dalam pejagaan polisi.(set)