Senin, 24 Maret 2025
Koran Jogja

Soal Regulasi IHT, Pemerintah Diminta Fokus Pandemi

 

Yogyakarta, Koran Jogja – Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) meminta pemerintah untuk menunda penerapan regulasi terbaru pada industry hasil tembakau (IHT) maupun revisi Peraturan Pemerintah 109/2012. Pandemi menyebabkan IHT terpukul dan berdampak pada pengurangan pekerja.

Hal ini menjadi benang merah dalam gelaran diskusi bertajuk ‘Menilik Regulasi Industry Hasil Tembakau di Era Kenormalan Baru’ pada Selasa (15/9). Sebagai pembicara hadir Ketua FSP RTMM SPSI Sudarto, Ketua PD FSP RTMM – SPSI DIY Waljid Budi Lestarianto serta Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo.

“Regulasi pemerintah di bidang IHT serta wacana revisi PP 109/2012, membuktikan pemerintah tidak memberikan keadilan kepada pelaku IHT. Pandemi seharusnya memberi peluang bukan memperberat,” kata Sudarto.

Ia mengatakan sebelum pandemic kondisi IHT sebenarnya sudah berat, terutama adanya kenaikan cukai pada produk rokok setiap tahun. Kenaikan cukai menyebabkan banyak pabrik rokok yang tutup karena barangnya tidak terjual dampaknya adalah pemutusan pekerja.

Bahkan revisi PP 109/2012 yang akan meminta gambar peringatan bahaya merokok diperluas pada bungkus rokok dianggap semakin mematikan industry hasil tembakau.

“Sebagai gambaran, kurun 2012-2018 tercatat 544 pabrik rokok tutup se-Indonesia karena kenaikan cukai. Jika satu pabrik memiliki 200 karyawan, maka enam tahun tahun ini terdapat 108 ribu pekerja yang kehilangan mata pencaharian,” lanjut Sudarto.

Ini belum lagi di internal FSP RTMM SPSI, Sudarto menyebut dalam sepuluh tahun terakhir ada sebanyak 68 ribu anggota yang keluar karena tidak lagi bekerja di industry rokok.

Mewakilai pekerja khususnya industry hasil tembakau, FSP RTMM SPSI meminta pemerintah benar-benar mencermati penerapan regulasi, revisi PP maupun kenaikan cukai. Dengan daya beli turun sepanjang pandemi, industry tidak bisa bergerak lebih baik karena produknya tidak terbeli.

“Kami meminta pemerintah maupun parlemen untuk menunda sementara semua hal itu dan fokus pada penangganan pandemic agar ekonomi kembali mengeliat,’ jelasnya.

Salah satu solusi yang ditawarkan FSP RTMM SPSI menurut Sudarto pemerintah mengeluarkan kebijakan khusus untuk industry rokok sigaret kretek tangan (SKT). Dimana pabrikan SKT ini membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga ketika ada kebijakan khusus seperti tidak ada kenaikan cukai maka produksi bisa meningkat yang berdampak adanya penyerapan tenaga kerja.

“Lebih luas adanya kebijakan khusus pada SKT ini juga menyelamatkan satu hasil kebudayaan Indonesia yaitu rokok kretek,” katanya.

Ketua AMTI Budiono mempertegas penyataan Sudarto, apa yang dialami oleh IHT akan berdampak pada kalangan petani tembakau dan cengkeh. Menurunya daya pembeli masyarakat yang menyebabkan produksi turun berdampak tidak terserapnya produk panen tembakau dan cengkeh.

“Tahun lalu karena kebijakan kenaikan cukai saja produk rokok turun 15 persen atau 55 miliar batang dari total produksi tahun sebelumya yaitu 350 miliar batang. Jika satu batang berisikan satu gram tembakau, kalkulasi kami terdapat produk tembakau dan cengkeh dari luas lahan 55 ribu hektar yang tidak terserap,” katanya.

Senada Sudarto, Ketua PD FSP RTMM – SPSI DIY Waljid Budi Lestarianto meminta pemerintah fokus pada penangganan pandemi hingga ekonomi kembali pulih dan menunda penerapatan regulasi, kenaikan cukai maupun revisi PP.

“Ini sebagai upaya menyelamatkan ekonomi para pekerja selama pandemic,” ucapnya.(set)

Leave a Reply