Sabtu, 7 Desember 2024
Koran Jogja

Tak Sesuai Perda, Penerapan KTR di Malioboro Dinilai Rancu

 

Yogyakarta, Koran Jogja – Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menilai penerapan kawasan tanpa rokok (KTR) di Malioboro masih rancu dan tidak sesuai peraturan daerah (Perda) yang ada. Ini menimbulkan perdebatan dan kontradiktif.

Dalam diskusi bertema ‘Berbagi Ruang Di Malioboro’, Sabtu (19/12) siang, Ketua AMTI Daerah Istimewa Yogyakarta Seno sebelumnya mengapresiasi langkah Pemerintah Kota Yogyakarta dalam menerapkan KRT itu.

“Namun yang perlu diperjelas adalah penyebutan kawasan tanpa rokok terlebih dahulu. Karena di Perda nomor 2 tahun 2017 tentang Perda Nomor 2/2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok pasal-pasalnya tidak menyebutkan kawasan, namun area,” kata Seno.

Jika merujuk pada Perda 2/2017, jelas disebutkan yang bisa dijadikan KTR adalah area tertentu atau ruangan tertutup pada sebuah kawasan. Bukan kawasan secara umum.

“Karena itulah penyebutan kawasan dan area tanpa rokok perlu diperjelas. Penetapan KTR di Malioboro ini kontradiktif. Sebab istilah kawasan itu mengacu pada adanya area-area. Sedangkan di Malioboro terdapat banyak area semisal mall, pasar, parkir dan lainnya,” tegasnya.

Secara umum peraturan pemerintah mengatur penyematan istilah KTR biasanya menyangkut ruangan atau tempat publik yang tertutup semisal sekolah, perkantoran, rumah sakit atau tempat ibadah.

Tanpa adanya peraturan Walikota (Perwal), sebagai turunan Perda, penetapan KTR di Malioboro yang mengacu pada kawasan, bukannya area sudah melangkahi PP nomor 109/2012.

Meskipun menimbulkan kerancuan, Seno mengapresiasi pembuatan Perda KTR. Pasalnya perda ini lebih bagus dibandingkan daerah lain semisal Bogor maupun Kulonprogo.

“Di Bogor maupun Kulonprogo, perdanya sudah bersifat eksesif. Dimana di sana tidak boleh ada iklan atau gambar rokok, di sini masih bisa,” katanya.

Menanggapi hal ini, Sekretaris Konisi A DPRD Kota Yogyakarta Fx Wisnu Sabdono Putro mengatakan Pemkot Yogyakarta kedepan wajib memperbaiki hal ini seperti yang ditentukan di Perda 2/2017.

Ia mencontohkan seperti pada Pasal 1 ayat 12 dimana pengelola atau penanggung jawab KTR adalah orang yang karena jabatannya mengelola dan/atau bertanggung jawab atas kegiatan di KTR.

“Pada kebijakan KTR di Malioboro, tidak dijelaskan siapa pengelola atau penanggung jawab itu. Hal ini perlu perbaikan,” katanya.

Ia juga menyoroti kurangnya kawasan tempat merokok (KTM) di Malioboro yang hanya empat titik di sepanjang satu kilometer. Ini seperti mendikriminasikan kepada pengunjung perokok.

Diskusi ini merupakan lanjutan dari aksi Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman – Serikat Seluruh Indonesia (PD FSP RTMM – SPSI) DIY pada Sabtu pagi.

Sebagai bentuk dukungan pada KTR di Malioboro, mereka melakukan gerakan Peduli Malioboro dengan memunguti potong rokok. Ketua FSP RTMM-SPSI DIY, Waljit Budi Lestaryanto mengatakan terkumpul 1,5 Kg puntung rokok.(set)

Leave a Reply