Koran Jogja – Rencana Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menikah adik Presiden Joko Widodo, Idayati, dikhawatirkan berdampak pada pelayanan hukum dalam lembaga judicial review undang-undang tersebut.
Pengamat politik Universitas Widya Mataram (UWM) As Martadani Noor mengkhawatirkan terjadi konflik kepentingan mencuat berkaitan dengan wacana Presiden Jokowi menunda pemilihan umum (Pemilu) 2024.
“Anwar Usman sebaiknya ancang-ancang mundur dari jabatan ketua MK untuk menjaga marwah lembaga penguji undang-undang tersebut. hubungan keluarga dalam sistem kekeluargaan di Indonesia berpengaruh besar terhadap proses suksesi dalam jabatan struktural maupun jabatan politik,” kata Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik, Sabtu (26/3).
Dia menggambarkan kasus Pilkada, dimana para pengganti pejabat Bupati/Walikota dari kalangan keluarga dekat. Pengaruh politik politik keluarga di pemerintahan di Indonesia cukup besar.
Di daerah jika Bupati habis masa jabatannya, maka penggantinya adalah istri atau anak dari bupati petahana, keponakan dan seterusnya.
“Di partai juga begitu kan? Kita lihat di partai-partai besar, tokoh-tokoh atau pejabat partai penting itu ada kaitannya dengan keluarga. Ini bisa ditegaskan, betapa besarnya fungsi keluarga itu masuk di dalam politik.” jelasnya.
Dengan alasan teoritis demikian, maka alumni Fisipol UWM tahun 1991 menyatakan, Anwar Usman sangat bijak untuk menghindari potensi konflik kepentingan dalam memimpin MK, dengan cara mundur dari jabatan ketua dimaksud.
Atas pertimbangan teori seperti itu, untuk menjaga marwah MK, membangun kepercayaan kepada masyarakat terhadap MK.
Noor menyatakan sebaiknya Anwar mundur dari ketua MK. Kalau tidak, posisinya ada potensi besar disalahgunakan, yang justru menurunkan kepercayaan masyarakat, menurunkan wibawa atau marwah ketua MK.
Menurut dia, publik bisa saja berprasangka pernikahan ketua MK berkaitan dengan jabatannya dan dikaitkan dengan wacana penundaan Pemilu 2024, dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Prasangka itu sangat wajar karena posisi Anwar Usman sangat strategis berkaitan masalah penundaan pemilu masuk dalam wilayah sengketa hukum, selain masalah politik kekuasaan, maka MK memiliki peran menciptakan hukum apabila terdapat judicial review undang-undang paket politik.
Akhirnya, jika benar ini terjadi (pernikahan) yang dimaskud, maka bisa saja MK dijadikan kartu penyelamat.
“Jika benar begitu, keputusan penundaan pemilu masuk di dalam sengketa hukum dan tentu berdampak dalam kerja MK dalam berkaitan wacana penundaan pemilu,” tutupnya. (Set)