Koran Jogja – Buku Nicotine War karya Wanda Hamilton memaparkan dengan gamblang bahwa ada hasrat industri farmasi ingin mematenkan nikotin yang sayangnya hal tersebut tidak dapat dilakukan.
Industri farmasi hanya dapat membuat sarana penghantar nikotin yang disebut sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT)
Hal tersebut disampaikan oleh Koordinator Komunitas Kretek (2010-2016), Abhisam Demosa saat acara bedah buku “Nicotine War: Membedah Siasat Korporasi Farmasi Jualan Nikotin” di Undip Inn, (19/3).
Nikotin, menurut Abhisam adalah emas. Nikotin memiliki manfaat yang tidak hanya berdampak positif terhadap kesehatan melainkan juga ekonomi.
Maka dari itu, industri farmasi melakukan berbagai strategi dan manuver untuk menguasai nikotin.
“Kemenangan besar di industri farmasi Amerika adalah masuk ke WHO. Dan lagi-lagi urusannya bisnis. Kemudian melahirkan FCTC dan inilah yang jadi landasan hukum bagi komisi pengendalian tembakau,” tutur Abhisam.
Senada dengan Abhisam, Budayawan asal Jogja yang juga menjadi pembicara pada acara tersebut, Irfan Afifi mengatakan bahwa jualan industri farmasi terkait pengganti rokok memang bisnis yang bernilai jutaan dolar.
Bagi Irfan, integritas yang bisa menyatukan seluruh masyarakat Indonesia adalah rokok.
Hal ini disebabkan rokok merupakan produk kebudayaan sejak zaman dahulu, yang dalam konteks cipta, rasa, dan karsa, dikenal sebagai kretek.
“Dahulu Founding Fathers seperti Soekarno, Agus Salim dan lain sebagainya bangga sekali dengan kretek. Sebab mereka sadar, jika dari kretek adalah produk budaya bangsa Indonesia yang bisa dibanggakan diluar negeri. Saat ini produk kebudayaan itu ingin dimatikan oleh bangsa sendiri atas inisatif dan suruhan bangsa asing,” tegas Irfan.
Menurut Irfan Afifi, memahami perang nikotin itu sangat sederhana. Ada dua perusahaan yang sama berjualan nicotin dengan produk yang berbeda mereknya, farmasi dan perusahaan rokok.
Farmasi memiliki kesempatan besar untuk menggandengan instansi-intansi negara maupun lembaga kesehatan untuk melebarkan pasarnya. Caranya dengan membuat regulasi dan kampanye buruk terhadap rokok.
Selain Abhisam dan Irfan, akademisi dari UNDIP, Khothibul Umam mengatakan, sejak dulu karya sastra dan seni begitu kuat kaitannya dengan rokok.
Dari karta itu bisa dengan mudah menemui tokoh-tokoh yang merokok dan tidak masalah dengan itu jika tersorot oleh kamera.
Sampul-sampul buku, lanjut Umam, seperti Rara Mendhut atau Chairil Anwar misalahnya, juga menampilkan sosok yang merokok.
Namun, perlahan sampul-sampul itu tak menampakkan rokok lagi. Rokok menjadi sangat tabu.
“Seni budaya maupun sastra tidak bisa dihindarkan dari rokok. Bahkan sebagian besar karya seni ada yang penuh dengan pabrik rokok atau perkebunan tembakau,” ujar Umam saat memaparkan presentasinya.
Sebagai penutup dalam diskusi tersebut, Irfan Afifi dengan tegas mengatakan bahwa penyakit yang paling berbahaya di dunia ini adalah ketergantungan kita pada obat. (rls)