Yogyakarta, Koran Jogja – Pemantauan visual merupakan metode pemantauan tertua di Gunung Merapi. Berawal dari sekedar pengamatan kasat mata terhadap fenomena aktivitas gunungapi, kini pengamatan visual juga dilakukan dengan menerapkan teknologi mutakhir seperti fotogrametri maupun teknologi penginderaan jauh melalui satelit.
“Pemantauan visual bertujuan untuk memantau aktivitas Merapi melalui data-data visual.” ungkap Kepala Seksi Gunung Merapi Agus Budi Santoso pada Siaran Informasi BPPTKG yang ditayangkan secara langsung di kanal Youtube BPPTKG Channel pada Sabtu (28/11) lalu.
Zaman dahulu, petugas pengamat Gunung Merapi melakukan pengamatan visual berupa kolom asap, titik api, alterasi batuan, lava pijar, awan panas, maupun perubahan morfologi. Selain itu, pengamat juga menggambar sketsa morfologi puncak secara berkala sehingga perkembangan aktivitas dapat diketahui melalui sketsa tersebut.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, BPPTKG-PVMBG-Badan Geologi mengaplikasikan pemantauan visual dengan menggunakan teknik fotografi. Saat ini terdapat 35 stasiun kamera yang berada di sekeliling Gunung Merapi, termasuk 9 stasiun kamera DSLR dan 2 kamera thermal. Foto yang diperoleh dari kamera menggantikan sketsa untuk mengukur perubahan morfologi secara spasial.
Saat muncul kubah lava Merapi pada Agustus 2018 lalu, BPPTKG menerapkan analisis fotogrametri untuk melihat perubahan morfologi dari waktu ke waktu.
“Dari analisis fotogrametri, kita jadi tahu bagaimana kubah lava berkembang. Jadi kubah lava ini berkembang dari tengah kemudian ke sekitarnya atau pertumbuhannya cenderung endogenik.” ungkap Agus.
Selain memperoleh foto dengan teknik fotografi, BPPTKG juga menerapkan teknologi drone untuk menghasilkan foto. Kelebihan dari metode ini adalah foto dapat diperoleh dengan perspektif yang tepat seperti yang diinginkan, bahkan untuk daerah yang tidak terjangkau langsung oleh manusia.
Agus menyatakan “Dengan menggunakan drone ini, kita tidak perlu mendatangi tempat-tempat yang berbahaya. Seperti saat ini, tidak ada misi ke puncak karena pemantauan visual dapat dilakukan melalui drone dan satelit.”
Pengambilan data drone yang dilakukan secara berulang, dapat membantu analisis perubahan morfologi dari waktu ke waktu. Agus menunjukkan hasil analisis profil morfologi, kubah lava 2018 berhenti tumbuh pada akhir Desember 2018. Selain itu, perhitungan volume kubah lava lebih akurat karena volume dihitung secara 3 dimensi, berbeda dengan era krisis sebelum ini dimana hanya menggunakan foto 2 dimensi sehingga kurang representatif.
“Pemantauan dengan menggunakan drone telah dilakukan secara intensif sejak menjelang erupsi tahun 2018 hingga saat ini dengan periode setiap 1 minggu.” terang Agus.
Metode pemantauan visual lain yang telah diterapkan adalah melalui satelit. Prinsipnya sama dengan metode drone dimana kita mendapatkan data foto objek dari atas. Data dapat diperoleh tergantung jadwal pengambilan data oleh satelit sehingga bisa lebih rutin. Seperti pada metode drone, dengan menggunakan satelit, pengamat tidak perlu mengakses daerah-daerah yang berbahaya. Resolusi foto satelit saat ini dapat mencapai orde centimeter, sehingga sangat cukup untuk keperluan analisis morfologi.
“Pada akhir-akhir ini terjadi pembentukan crack atau rekahan di kawah atau kubah lava paska 2010 dan 2018. Kemudian juga menunjukkan aktivitas guguran yang intensif.” ujar Agus saat menerangkan hasil analisis foto satelite terbaru. Agus menambahkan “perkembangan rekahan dan aktivitas guguran menunjukkan bahwa magma sudah sangat dekat di permukaan, sehingga kita menunggu kapan magma ini membentuk kubah di permukaan.”
Metode lain yang dapat diterapkan untuk data satelit citra radar adalah InSAR (Interferometric Synthetic-Aperture Radar). Metode ini memberikan gambaran deformasi secara 3 dimensi dari perubahan fase gelombang radar yang dipancarkan ke obyek dan kembali ke satelit. Prinsip kerjanya mirip seperti metode EDM (Electronic Distance Measurements), namun dengan jumlah sinar yang jauh lebih banyak.
Kekurangan dari metode InSAR adalah resolusi yang tidak terlalu tinggi sehingga agak sulit untuk mendapatkan resolusi orde sentimeter pada deformasi di gunung api. Berbeda dengan metode EDM yang bisa mencapai orde milimeter meskipun hanya diukur dari 1 titik. Metode InSAR ini berguna jika ada suplai magma yang besar, sehingga orde deformasinya mampu terekam oleh satelit.
Menyinggung tentang misi pendakian ke Puncak Gunung Merapi, Agus menegaskan bahwa “Metode visual sudah cukup memadai sehingga tidak diperlukan misi ke puncak yang sangat berbahaya. Kejadian kemarin, ada teman kita yang mendaki ke puncak, itu tidak bisa dibenarkan karena dapat membahayakan diri sendiri.”
Hal ini diperkuat dengan kejadian pada Minggu (22/11) lalu saat terjadi guguran dinding kawah di Lava 1954 yang disebut sebagai kejadian luar biasa karena volume yang runtuh cukup besar dan kejadian tersebut merubah morfologi puncak. Agus sangat tidak menyarankan ada misi apapun ke puncak Gunung Merapi meskipun dengan alasan mitigasi karena kondisi saat ini masih sangat berbahaya.
“Masyarakat untuk tetap tenang dan bersabar menghadapi aktivitas Gunung Merapi ini. Kita berikan waktu kepada Gunung Merapi untuk berekspresi karena selama ini sudah memberikan manfaat yang luar biasa kepada kita semua.” tutup Agus.(rls)