Yogyakarta, Koran Jogja – Pengajar sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta sekaligus pembuat naskah akademik Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949, Sri Margana menyangkal hilangnya nama Presiden Soeharto dalam peristiwa penting itu.
“Kami tidak menghilangkan nama dan peran Letkol Soeharto. Di naskah akademik, Soeharto ditunjuk sebagai pemimpin serangan umum di pusat kota. Namanya disebut 48 kali ini menunjukkan betapa pentingnya peran beliau,” kata Margana, Senin (7/3).
Polemik tidak munculnya nama Soeharto dipersoalkan berbagai pihak khususnya politikus Fadli Zon melalui ciutannya bahwa Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Besar Penegakan Kedaulatan Negara menghilangkan nama besar Soeharto.
Margana mengatakan naskah yang disusunya sejak 2018 telah merekam dan menacata dengan jelas nama serta peran ribuah pelaku sejarah.
Bahkan peran ratusan pemimpin-pemimpin utama disebut sesuai porsinya masing-masing.
“Tidak ada satu tokohpun dalam sejarah yang memiliki peran penting dalam peristiwa-peristiwa itu yang dihapuskan. Naskah ini justru menempatkan tokoh-tokoh penting yang dalam historiografi di masa lalu dihilangkan atau direduksi peranannya,” katanya.
Berdasarkan berbagai arsip, foto, dan wawancara dengan para pelaku. Margana menyampaikan fakta historis terpenting terkait peran Sultan HB IX yang merupakan pemimpin kultural, Menteri Keamanan Negara, dan menyandang pangkat Letnan Jenderal Tituler, sebagai penggagas serangan.
Sultan HB X memiliki gagasan melancarkan serangan besar-besaran di Yogyakarta setelah mendengar siaran tentang masalah Indonesia akan dibicarakan dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Maret 1949.
“Sementara itu, Belanda terus mempropagandakan di PBB bahwa Indonesia sudah bubar. Ide itu lalu disampaikan ke Panglima Besar Jenderal Soedirman. Sebagai Panglima mengerahkan pasukan menyetujui ide tersebut,” katanya.
Naskah tersebut juga menyebut berbagai nama tokoh dan perannya seperti Komandan Divisi II Kolonel Gatot Subroto yang berperan mencegah pasukan Belanda dari Solo; Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB Simatupang mengonsepkan berita ke luar negeri dan mengumpulkan intelijen untuk menyebarkan informasi.
Kemudian ada Mayor Sardjono dan Letkol Vince Samuel, berjuang di garis depan bertempur dengan Belanda di Benteng Vredeburg.
Mayor Soekasno berperan mencegah kedatangan bantuan pasukan NICA dari Magelang, dan Mayor Soedjono yang menduduki Bandara Maguwo guna memastikan Belanda tidak menggunakan pesawat untuk menggempur para pejuang di Yogyakarta.
“Belum lagi personel kepolisian dan laskar-laskar rakyat yang juga turut berperan dalam serangan itu. mereka semua berada dalam satu organisasi dan satu gerakan. Jika satu tidak berfungsi, maka serangan akan gagal,” jelasnya.
Sehingga dipastikan bahwa SU 1 Maret 1949 bukanlah peristiwa yang dari satu orang satu orang. Ada sinergi dari pemimpin rakyat dan melibatkan strategi yang sangat kompleks sehingga semua unsur-unsur berperan serta berjalan dengan baik. (Set)