Oleh: Galuh Prawitasari
Mahasiswa S3 Pendidikan Bimbingan Konseling
Universitas Negeri Semarang
Awardee LPDP PK-243
Koran Jogja – Transformasi digital telah mengubah banyak aspek kehidupan, termasuk cara manusia mencari dan memberikan pertolongan psikologis. Dalam konteks bimbingan dan konseling, kehadiran cyber counseling atau konseling siber menjadi salah satu inovasi paling signifikan.
Pandemi COVID-19 mempercepat adopsinya dan hingga kini praktik konseling siber terus berkembang dan menjadi bagian penting dari layanan konseling modern. Namun, di balik peluang besar yang ditawarkan, konseling siber juga menghadirkan berbagai dilema etik dan profesional. Seperti dua sisi koin, konseling siber menyimpan manfaat dan risiko yang sama kuatnya.
Pengertian & Jenis Konseling Siber
Konseling siber merupakan bentuk layanan konseling yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi digital, terutama internet, sebagai media utama interaksi antara konselor dan klien. Menurut Cook dan Doyle (2002), konseling siber dapat berlangsung melalui berbagai saluran komunikasi seperti email, chat, video call, atau aplikasi pesan instan. Konseling siber memiliki tujuan yang sama seperti konseling tatap muka, yakni membantu individu memahami dirinya, mengatasi masalah psikologis, dan meningkatkan kesejahteraan mental. Bedanya, konseling siber berupaya meminimalkan batasan geografis maupun waktu yang sering muncul pada konseling tatap muka. Oleh karena itu, sesi pada konseling siber dapat dilakukan secara fleksibel dari lokasi mana pun dan waktu kapanpun sesuai kesepakatan antara konselor dan konseli.
Konseling siber pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua bentuk utama, yakni sinkronus dan asinkronus. Konseling siber sinkronus berlangsung secara waktu nyata (real-time), di mana konselor dan klien berinteraksi secara langsung melalui media digital seperti video call, telepon daring, atau live chat. Jenis layanan ini meniru dinamika konseling tatap muka karena memungkinkan adanya umpan balik segera, komunikasi dua arah yang spontan, serta interaksi emosional yang lebih kuat.
Melalui media visual dan audio, konselor dapat membaca ekspresi wajah, nada suara, dan perubahan emosional konseli secara langsung, sehingga proses empatik dapat tetap terjalin meskipun dilakukan melalui layar. Konseling sinkronus banyak digunakan ketika isu yang dihadapi konseli bersifat mendesak, membutuhkan klarifikasi cepat, atau memerlukan kehadiran emosional konselor dalam waktu yang bersamaan.
Di sisi lain, konseling siber asinkronus memiliki karakteristik berbeda karena tidak terjadi dalam waktu yang bersamaan. Komunikasi antara konselor dan konseli berlangsung secara bergantian, misalnya melalui email, pesan teks, atau platform diskusi daring yang memungkinkan masing-masing pihak memberikan respons pada waktu yang berbeda.
Model ini memberikan ruang refleksi yang lebih panjang bagi konseli untuk menuliskan perasaannya dengan lebih terstruktur dan mendalam sebelum dibaca atau ditanggapi oleh konselor. Dari sisi teknis, konseling asinkronus dinilai lebih fleksibel karena tidak menuntut kesamaan waktu antara kedua pihak, serta memberikan dokumentasi tertulis yang lengkap untuk keperluan tindak lanjut. Namun demikian, bentuk ini juga memiliki keterbatasan karena kurang mampu menangkap dinamika emosional secara langsung dan dapat menghambat proses empati spontan.
Dalam praktik modern, kedua bentuk konseling siber ini sering kali digunakan secara komplementer. Seorang konselor, misalnya, dapat memulai hubungan terapeutik melalui sesi video conference sinkronus untuk membangun kepercayaan, kemudian melanjutkannya dengan komunikasi asinkronus melalui pesan teks untuk pemantauan atau refleksi mandiri konseli. Kombinasi keduanya memungkinkan layanan konseling tetap humanis sekaligus efisien dalam konteks kehidupan digital yang serba cepat.
Dua Sisi Koin Konseling Siber
Terlepas dari bentuk penyampaiannya (sinkronus/asinkronus), konseling siber secara umum memiliki berbagai keunggulan dibandingkan konseling tatap muka. Salah satu keunggulan utama konseling siber berkaitan dengan peningkatan aksesibilitas. Banyak individu yang sebelumnya enggan mencari bantuan karena rasa malu, keterbatasan mobilitas, atau stigma sosial, kini merasa lebih nyaman berkomunikasi melalui ruang daring yang memberi rasa aman dan anonim.
Layanan daring juga menjangkau daerah yang kekurangan tenaga konselor profesional. Konseli di wilayah pedesaan, misalnya, dapat berinteraksi dengan konselor dari kota besar tanpa harus menempuh jarak jauh. Dari sisi efisiensi, konselor dapat mengatur jadwal dengan lebih fleksibel dan memanfaatkan rekam jejak digital untuk memantau perkembangan konseli secara sistematis. Selain itu, generasi muda yang tumbuh dalam lingkungan digital merasa lebih connected melalui media daring. Platform seperti Google Meet, WhatsApp, atau aplikasi konseling khusus menjadi medium alami bagi mereka untuk berbagi perasaan tanpa tekanan sosial yang sering muncul dalam pertemuan langsung.
Namun, di balik berbagai kemudahan tersebut, konseling siber menyimpan sejumlah tantangan serius. Isu kerahasiaan dan keamanan data menjadi sorotan utama. Informasi pribadi yang disampaikan konseli berpotensi bocor jika tidak dilindungi dengan sistem enkripsi yang kuat atau jika perangkat yang digunakan tidak aman. Selain itu, dimensi emosional dalam konseling kerap tereduksi. Bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan kontak mata, yang merupakan unsur-unsur penting dalam membangun empati, tidak selalu dapat diterjemahkan secara sempurna lewat layar. Akibatnya, hubungan terapeutik (therapeutic alliance) antara konselor dan konseli bisa menjadi kurang mendalam dan berdampak pada dampak positif konseling di kemudian hari.
Masalah lain muncul ketika konseli berada dalam kondisi krisis psikologis. Dalam konteks daring, konselor tidak dapat segera memberikan pertolongan langsung apabila terjadi risiko tinggi seperti keinginan bunuh diri atau kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini menunjukkan urgensi perumusan protokol darurat yang jelas dan pelatihan etika digital bagi para praktisi yang hendak memberikan layanan konseling siber.
Menemukan Titik Keselarasan
Konseling siber bukanlah pengganti penuh konseling tatap muka, melainkan bentuk layanan komplementer. Kombinasi keduanya dapat menciptakan sistem layanan yang lebih adaptif terhadap kebutuhan zaman. Konseling siber adalah simbol dari evolusi profesi konseling di era digital. Oleh karena itu, dua sisi koin dari konseling siber tidak perlu dipertentangkan, melainkan disinergikan. Di satu sisi, teknologi menghadirkan efisiensi dan jangkauan luas. Namun di sisi lain, nilai-nilai kemanusiaan, seperti empati, kehangatan, dan kehadiran emosional, tetap menjadi inti dari praktik konseling. Tantangan bagi konselor masa kini adalah menjaga agar keduanya berjalan beriringan, sehingga konseling di dunia digital tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan yang utuh.
Konselor perlu mengembangkan kompetensi digital agar mampu menavigasi layanan konseling siber yang diberikan secara efektif dan tetap humanis. Beberapa kompetensi digital yang esensial di antaranya adalah kesadaran terhadap keamanan siber, pengetahuan tentang privasi dan perlindungan data, serta keterampilan dalam menangani insiden digital (incident response skills), yakni kemampuan untuk membimbing konseli ketika menghadapi insiden siber, termasuk cara berkomunikasi, melapor, dan mengurangi dampaknya. Di samping itu, keselamatan pribadi di dunia maya menjadi aspek penting yang harus dipahami, seperti manajemen kata sandi, pengenalan situs web yang aman, dan perilaku digital yang bertanggung jawab.
Kompetensi digital yang tidak kalah penting lainnya adalah kecerdasan emosional, yaitu kemampuan memberikan dukungan psikologis kepada konseli yang mengalami tekanan akibat insiden siber atau perilaku daring yang bermasalah. Konselor juga perlu menguasai teknik asesmen dan evaluasi, agar dapat menilai kebiasaan digital konseli dan menyusun rencana perlindungan siber yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Lebih lanjut, kemampuan komunikasi yang efektif menjadi kunci keberhasilan dalam menjelaskan konsep teknis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh konseli dari berbagai latar belakang.
Konselor juga dituntut untuk terus belajar secara berkelanjutan, mengikuti perkembangan teknologi, dan memahami ancaman keamanan siber terbaru agar tetap relevan di era digital yang terus berubah cepat.
Keseluruhan kompetensi ini memungkinkan konselor siber untuk mendampingi klien dalam menavigasi kehidupan digital mereka secara aman, melindungi identitas dan privasi daring, serta merespons berbagai ancaman siber dengan cara yang efektif, namun tetap humanis. Dengan demikian, konseling siber dapat menjadi terobosan yang bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan mental generasi era digital. (*)
