Selasa, 17 September 2024
Koran Jogja

Larang Ekspor Migor, Indonesia Kehilangan Devisa Rp43 T Per Bulan

 

Yogyakarta, Koran Jogja – Ahli Ekonomi Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta Antonius Satria Hadi menyatakan Indonesia akan kehilangan devisa hingga Rp43T per bulan akibat larangan ekspor minyak goreng (Migor). Kondisi ini akan melahirkan banyak dilema dan dampak bagi banyak negara.

“Keputusan pemerintah melarang ekspor migor berdampak terhadap keuangan di dalam negeri dan mengacaukan pasokan minyak di pasar dunia. Apabila keputusan itu dilaksanakan secara serius, Indonesia kehilangan devisa sebesar Rp 143 triliun per bulan,” kata Satria Sabtu (30/4).

Ditengah sejumlah negara yang kekurangan pasokan Migor, Santri menegaskan keputusan Presiden Joko Widodo ini bakal menyebabkan efek domino kenaikan harga sejumlah kebutuhan dunia, dan akhirnya berdampak pada inflasi global

“Keputusan ini menimbulkan dilema di dalam dan di luar negeri atau di negara-negara dunia,” Dosen Fakultas Ekonomi yang tengah menyelesaikan gelar Ph.D. di University of Kuala Lumpur.

Dirinya juga memperkirakan penurunan harga minyak dalam negeri menuju normal seperti harga lama dapat mengurangi laju inflasi yang tengah meningkat. Ini seperti ditunjukkan pada studi sensitivitas BRI Danareksa Sekuritas dimana setiap penurunan 1 persen harga Migor akan menyebabkan penurunan inflasi sebesar 0.15 persen.

“Meskipun dampak ini positif, namun menimbulkan dilema bagi keuangan Indonesia. Dengan hitung-hitungan larangan ekspor devisa hilang Rp43 T, maka stabilitas rupiah akan terganggu karena kehilangan 12 persen dari total ekspor nonmigas dalam satu bulan,” lanjutnya.

Satria menyatakan pelarangan ekspor juga melahirkan dampak lainnya yaitu kelebihan stok (over supply) Migor dalam negeri. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam perhitungannya menyatakan kebutuhan Migor nasional hanya 10 persen dari total produksi per bulannya.

“Sehingga jika tidak diekspor maka akan muncul masalah baru dimana ketersediaan minyak goreng menjadi sangat melimpah,” katanya.

Demikian juga bagi para petani sawit dan pengusaha, pelarangan ekspor itu menimbulkan masalah penyimpanan. Selama ini para petani sawit dan pengusaha CPO tidak memiliki storage atau alat penyimpanan hasil produksi minyak mentah yang memungkinkan minyak bisa bertahan dalam jangka waktu lama

Sedangkan di tataran global, Satria menyebut sejumlah negara diprediksi akan melakukan protes seperti India, Cina, dan Pakistan. Tanpa pasokan minyak dari Indonesia, negara-negara berkurang stok minyak di pasar dan situasi ini bisa mendorong mereka menaikan harga minyak di negara mereka.

“India dengan pasokan minyak yang menurun maka diprediksi harga kebutuhan seperti sabun, kue, mie hingga shampo akan mengalami kenaikan hingga 10 persen,” ucapnya.

Soal kemampuan Malaysia menambah ekspor minyak ke negara-negara dunia karena mereka tidak mampu mengisi slot kosong yang ditinggalkan Indonesia. Ditambah lagi konflik Rusia dan Ukraina, pasokan minyak mereka ke negara lain terhambat. Situasi terakhir ini memicu inflasi pada level global.

“Dengan dampak yang begitu luas ini, ada baiknya pemerintah mengkaji kembali kebijakan pelarangan ekspor demi kepentingan bersama,” ujar dia.

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) Universitas Gadjah Mada (UGM), Hempri Suyatna meminta pemerintah memperketat pengawasan terhadap distribusi minyak. Misalnya, aktif melakukan operasi pasar dan memotong jalur distributor, guna menekan harga minyak.

”Melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha termasuk konsumen. Jangan sampai penimbunan juga terjadi di level konsumen,” kata Hempri dalam rilis.

Pengawasan distribusi ini perlu diperkuat kembali. Termasuk soal ekspor Crude Palm Oil (CPO) maupun distribusi minyak goreng di dalam negeri. (Set)

Leave a Reply