Bantul, Koran Jogja – Meningkatnya abrasi pantai selatan dan semakin terbukanya kawasan hutan pesisir menjadikan habitat penyu di pantai selatan Bantul mengkuatirkan.
Upaya konservasi penyu dilakukan masyarakat secara sukarela sejak sepuluh tahun terakhir.
Tergabung dalam Kelompok Konservasi Penyu Mino Raharjo. Para relawan yang dulunya nelayan dan petani lahan pasir ini memilih menyelamatkan satwa penyu yang biasa bertelur di Pantai Goa Cemara Desa Gadingsari, Kecamatan Sanden, Bantul.
“Ada sepuluh relawan yang berkerja tanpa mengharapkan bayaran. Kita hanya ingin penyu yang biasa bertelur di pantai terselamatkan,” kata Ketua Kelompok Subagyo, Jumat (2/9).
Berawal dari keprihatinan semakin langkanya penyu yang datang untuk bertelur di bibir pantai, karena banyak ditangkap nelayan. Bahkan telurnya turut dicuri.
Warga yang peduli dengan keberlangsungan hidup penyu memilih melakukan penyelamatan satwa ini. Selain melindungi penyu dari tangkapan, relawan juga memindahkan telur untuk ditetaskan agar bisa dilepas ke pantai kembali.
“Musim bertelur penyu pada Mei-Agustus. Ini menjelang akhir musim bertelur. Di periode ini setiap malam kita mendapatkan 2-3 sarang dengan isi masing-masing 50-100 telur,” katanya.
Menyurusi pantai sepanjang tiga kilometer, Subagyo mengaku dirinya hapal betul pertanda kedatangan maupun akan berakhirnya musim bertelur penyu melalui angin laut.
Langkah konservasi ini dilanjutkan dengan memidahkan telur penyu ke lokasi aman untuk dibiarkan menetas dalam kurun waktu 50 hari. Tiga hari pasca menetas, tukik itu dilepaskan ke bibir pantai agar aman dari ancaman predator.
Pengurus harian kelompok Konservasi, Yatiman mengatakan selama sepuluh tahun berdiri, pihaknya masih mengalami kesulitan hal penyediaan air laut.
“Selama adaptasi tukik, sebelum dilepas liarkan. Air penampung harus diganti setiap hari. Proses pergantian masih manual,” jelasnya.
Sesepuh kelompok Sadiyo mengatakan keberadaan penyu di pantai selatan, yang merupakan obyek wisata sangatlah penting. Sebab mereka adalah predator utama ubur-ubur yang seringkali menyengat pengunjung.
“Namun upaya konservasi ini belumlah cukup. Dibutuhkan rehabilitasi lingkungan agar kawanan penyu datang kembali seperti dulu,” katanya.
Di era 1990-an, jika sudah memasuki musim bertelur. Kawasan pantai akan didatangi minimal 10 indukan penyu dalam semalam untuk bertelur.
Namun sejak kawasan pantai semakin ramai orang, baik wisatawan di siang hari maupun pemancing malam hari. Didukung rusaknya habitat telur mereka dipinggir pantai. Kedatangan 2-3 penyu beberapa malam sudah menjadi keberuntungan.
“Penyu itu sukanya pantai yang rimbun, gelap, dan sepi. Sekarang karena sudah menjadi area wisata, belum lagi tingkat abrasi yang parah. Habitat mereka rusak,” katanya.(set)